Webinar dan Peluncuran Buku Saku Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin

IJRS telah bekerjasama dengan Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI dengan dukungan Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) 2 untuk menyelesaikan Buku Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Pada Jumat, 4 Desember 2020 lalu, Ketua Mahkamah Agung RI akhirnya meluncurkan buku tersebut agar bisa terpublikasikan baik kepada seluruh hakim maupun kalangan umum di Indonesia. Harapannya dengan ada buku pedoman ini, bisa jadi rujukan bagi Hakim untuk lebih memperhatikan kepentingan anak dalam perkara permohonan dispensasi kawin di Indonesia.

Terima kasih atas kerja kerasnya kepada semua pihak yang terlibat dalam peluncuran buku ini terutama kepada Mahkamah Agung RI dan Kedubes Australia.

Silahkan download buku saku pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin di web IJRS : https://ijrs.or.id/buku-saku-pedoman-mengadili-permohonan-dispensasi-kawin/

[Rilis Pers] Semua Bisa Kena, Cabut Pasal Karet UU ITE

Rilis Pers Bersama

IJRS – ICJR – LBH PERS – LBH JAKARTA – PBHI – YLBHI – GREENPEACE INDONESIA – ELSAM – PILNET – SAFENET – DEBTWATCH – KONTRAS – RUMAH CEMARA – ICW – IMPARSIAL

Sejak pertama kali diundangkan pada 2008, pasal-pasal pidana di UU ITE sudah dianggap bermasalah. Setelah digemparkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang Ibu yang dipidana karena mengirimkan kritik kepada pelayanan sebuah Rumah Sakit, UU ITE terus memakan korban.

Pada 2016, setelah rangkaian kasus dan uji materil di MK, UU ITE direvisi. Revisi itu ternyata tidak menghentikan daya rusak pasal-pasal pidana karet yang ada di UU ITE, beberapa kasus besar pun menyeruak ke publik. Musuh besar kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online kali ini tidak hanya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, melainkan ada “tamu” baru, yaitu Delik “kesusilaan” dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE dan delik “ujaran kebencian” dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pengaturan yang masih sangat karet jadi alasan.

Korban pun berjatuhan, Baiq Nuril, perempuan korban pelecehan seksual yang akhirnya merima Amnesty pertama dari Presiden Jokowi adalah tamparan keras pada problem rumusan dan praktik penggunaan pasal-pasal pidana di UU ITE. Terakhir, perdebatan mencuat ketika Jerinx, seorang musisi yang mengkritik persoalan rapid test pada sebuah organisasi yang kredibel, justru dijawab dengan pidana.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.

Maka, bahaya laten pembungkaman terpapar jelas dalam pasal-pasal pidana UU ITE. Dalam kacamata ini, semua bisa kena, hari ini mereka, besok bisa jadi kita.

[Rilis Pers] Mahkamah Agung Tegaskan Komitmennya untuk Pencegahan Perkawinan Anak

Jakarta – Mahkamah Agung menegaskan komitmennya dalam pencegahan perkawinan anak dengan menerapkan prinsip-prinsip kepetingan terbaik bagi anak dalam mengadili permohonan dispensasi perkawinan. Sebagai salah satu institusi mitra pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA), Mahkamah Agung berkomitmen turut mencapai target mengurangi perkawinan anak dari 11,2% di 2018 menjadi 8,74% pada 2024 dan 6,9% pada 2030.”

Komitmen ini disampaikan dalam peluncuran Buku Saku Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin oleh Ketua Mahkamah Agung pada hari ini (4/12). Buku Saku bagi para hakim di lingkungan peradilan umum dan agama ini merupakan kerjasama Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS) didukung Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Dalam sambutannya, Ketua Mahkamah Agung RI, YM Dr. H. Muhammad Syarifuddin, SH, MH menyampaikan, “Di dalam PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin, badan peradilan berperan sebagai pintu terakhir bagi pencegahan perkawinan anak dengan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan atas pendapat anak, non-diskriminasi, kesetaraan gender dan persamaan di depan hukum dalam penyelesaian perkara dispensasi kawin.” Mahkamah Agung mencatat peningkatan jumlah perkara dispensasi kawin yang diputus oleh Pengadilan dari 23.126 perkara (2019) menjadi 35.441 (2020). Ketua MA RI berharap hadirnya buku ini dapat meningkatkan kualitas penanganan perkara dan putusan dispensasi kawin demi kepentingan terbaik anak.

Hakim berkapasitas serta bertanggungjawab menjalankan prinsip kepentingan terbaik anak antara lain dengan mendengar pendapat anak, memperhatikan kondisi fisik dan psikis anak berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog dan tenaga medis, mempertimbangkan usia anakserta kondisi kerentanan serta kualitas pendidikan anak.

Sejumlah narasumber dan penanggap yang hadir pada peluncuran Buku Saku termasuk Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Family Court of Australia, Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bone dan perwakilan organisasi masyarakat sipil. Melalui diskusi ini, langkah strategis untuk mengupayakan pencegahan perkawinan anak diharapkan dapat dipetakan dan berkembang menjadi rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia dan berbagai stakeholders. Para narasumber dan penanggap juga menggarisbawahi mengenai pentingnya kebijakan pencegahan perkawinan anak di tingkat daerah, rekomendasi dari profesional (psikolog, dokter, dll) dan pembebasan biaya perkara pada permohonan dispensasi kawin.

Selain Perma No. 5 Tahun 2019, Mahkamah Agung juga mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan untuk menjamin akses keadilan bagi anak sebagai pihak yang diajukan permohonan dispensasi kawin, khususnya anak perempuan yang menjadi target utama perkawinan anak. Kehadiran PERMA ini menjadi bagian dalam diskusi peluncuran Buku Saku sebagai bentuk dukungan Mahkamah Agung agar kepentingan terbaik bagi anak tetap dapat dipastikan dalam permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh anggota masyarakat yang tidak mampu membayar biaya perkara.

Dengan dihadiri seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama di seluruh Indonesia dan Mahkamah Syar’iyah Aceh, harapannya Buku Saku ini dapat meningkatkan pemahaman Hakim tentang kondisi perkawinan anak di Indonesia dan praktik serta dampak buruk perkawinan anak. Hakim juga perlu menjadikan Buku Saku ini sebagai acuan dalam menangani permohonan dispensasi kawin agar dapat memastikan langkah-langkah yang tepat untuk diambil dalam rangka mencegah dampak buruk bagi perkawinan anak.

Informasi lebih lanjut, hubungi:
Arsa Ilmi
Indonesia Judicial Research Society
HP/WA: 0821-4440-6361
Email: arsa@ijrs.or.id

PBB Ubah Sistem Penggolongan Narkotika yang Memperkuat Posisi Ganja Medis

Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) menyelenggarakan pemungutan suara atau voting terhadap beberapa rekomendasi WHO terkait perubahan sistem penggolongan (scheduling) narkotika khususnya untuk ganja dan turunannya. Salah satu rekomendasi yang disetujui oleh mayoritas anggota yaitu dihapuskannya cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

Sebelumnya, ganja dan turunannya ditempatkan pada Golongan I dan Golongan IV. Berdasarkan ketentuan Kovensi Tunggal Narkotika 1961, narkotika yang berada dalam Golongan IV hanya memiliki manfaat medis yang terbatas namun tingkat ketergantungan dan potensi penyalahgunaannya sangat tinggi sehingga termasuk dalam subyek kontrol yang paling ketat jika dibandingkan dengan narkotika Golongan I sampai Golongan III.

Dengan dikeluarkannya ganja dan getahnya dari Golongan IV, sebagaimana dijelaskan dalam uraian rekomendasi WHO, ganja tidak lagi dipersamakan dengan heroin atau opioid yang memiliki ancaman resiko tertinggi hingga menyebabkan kematian. Bahkan sebaliknya, manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari tanaman ganja semakin diakui yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain. Langkah yang diambil PBB ini cukup berpengaruh terhadap posisi ganja dalam kebijakan narkotika secara internasional sehingga tidak lagi menjadi penghalang untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk pemanfaatannya dalam dunia medis.

Atas dasar adanya perkembangan baik dari dunia internasional ini, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar Pemerintah Indonesia juga mulai terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis di dalam negeri. Sebagai langkah konkrit, Pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis. Sebelumnya, Koalisi yang mendampingi tiga orang ibu dari anak-anak yang mengalami cerebral palsy pada 19 November 2020 juga telah mengajukan permohonan uji materil terhadap UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan. Kesempatan ini harus dapat dijadikan momentum bagi Pemerintah untuk merombak kebijakan narkotika yang berbasiskan bukti (evidence-based policy). Adanya hasil voting lembaga PBB ini sudah dapat dijadikan sebagai legitimasi medis dan konsensus politis yang harus diikuti negara-negara anggotanya termasuk Pemerintah Indonesia selama ini yang mengklaim selalu merujuk pada ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

Jakarta, 3 Desember 2020
Hormat Kami,

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN

Contact Person :

  • Iftitahsari (ICJR)
  • Dio Ashar (IJRS)
  • Maria Tarigan (IJRS)
  • Ma’ruf (LBH Masyarakat)
  • Singgih Tomi Gumilang (LGN)

Diskusi dan konsultasi publik tentang Pedoman bagi Penuntut Umum tentang Penuntutan Perkara Tindak Pidana yang Berperspektif Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak

Telah diselenggarakan diskusi dan konsultasi publik tentang Pedoman bagi Penuntut Umum tentang Penuntutan Perkara Tindak Pidana yang Berperspektif Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak pada 1 Desember 2020. Adapun pembicara dalam diskusi ini ialah:

  • Dr. Diah Yuliastuti, S.H., M.H., Kepala Subdirektorat Pra Penuntutan pada Direktorat Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, Ketertiban Umum dan Tindak Pidana Umum Lainnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.
  • Erni Mustikasari, S.H., M.H., Jaksa Fungsional pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
  • Muhammad Rizaldi, S.H., LL.M., Ketua MaPPI FHUI
  • Adery Ardhan Saputro, S.H., LL.M., Peneliti IJRS

Diskusi ini diselenggarakan untuk menjaring masukan dari publik terhadap draf Pedoman Penuntut Umum tentang Penuntutan Perkara Tindak Pidana yang Berperspektif Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak agar dapat secara optimal menjamin akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.